Penulisan “Si” dan “Sang” | Ivan Lanin

Masih banyak di antara penulis yang kebingungan dalam penulis “si” dan “sang”. Apakah keduanya ditulis kapital atau sebaliknya? Berikut adalah penjelasan Ivan Lanin.

Contoh perbedaan kapitalisasi “si” dan “sang”:
1. Surat itu dikembalikan kepada si pengirim.
2. Akhirnya si Buta berhasil menolong kekasihnya.
3. Ia mematuhi nasihat sang kakak.
4. Harimau marah kepada sang Kancil.
5. Kita berserah diri kepada Sang Pencipta.

Kaidah kapitalisasi ketika berada di tengah kalimat:
1. Kata “si” dan “sang” diawali huruf kecil.
2. Kata “Sang” dan kata setelahnya diawali huruf kapital untuk nama Tuhan.
3. Kata biasa (misalnya pengirim, kakak) setelah “si/sang” diawali huruf kecil.
4. Kata julukan (misalnya Buta, Kancil) setelah “si/sang” diawali huruf kapital.

Penggunaan Para, Kaum, dan Umat | Ivan Lanin

Di dalam bahasa Indonesia, ada tiga kata yang dipakai untuk menunjukkan makna kolektif kelompok orang: para, kaum, dan umat. Menurut Ivan Lanin,”Para” tampaknya berasal dari bahasa Melayu, sedangkan “kaum” diserap dari bahasa Arab قَوْمٌ ‘masyarakat’ dan أُمَّةٌ ‘pandangan hidup; agama; generasi; kurun’.

Dari segi kelas kata, “para” termasuk artikula (kata sandang), sedangkan “kaum” termasuk nomina (kata benda). Itu sebabnya ada “kaum/umat (yang) beragama”, tetapi tidak ada “para (yang) beragama”, serta ada “kaum miskin”, tetapi tidak ada “para miskin”.

Dari segi pemakaian, “para” digunakan untuk kelompok orang dengan karakteristik tertentu, seperti pekerjaan atau status, misalnya para guru atau para pemuda. “Kaum” selalu bisa menggantikan “para”, misalnya kaum guru dan kaum pemuda, tetapi “para” tidak selalu bisa menggantikan “kaum”, misalnya “kaum sosialis” tidak bisa digantikan dengan “para sosialis”. Terakhir, “umat” hanya kita pakai untuk merujuk penganut agama atau makna generik manusia. Tidak ada “umat guru”, toh?

Dari segi kekolektifan, kelompok yang diwujudkan oleh “kaum” lebih besar daripada “para”. Coba rasakan perbedaan “kaum guru” dengan “para guru”. Demikian pula, kelompok yang diwujudkan oleh “umat” lebih besar daripada “kaum”, misalnya kita lebih condong memakai “kaum muslim” pada sebuah kampung daripada “umatmuslim”.

Menjelaskan Hal Kompleks Secara Sederhana | Ivan Lanin

“Bagaimana menjelaskan hal kompleks secara sederhana?”

Saya sempat terperenyak dengan pertanyaan itu. Seorang peserta kelas menanyakannya kepada saya (Ivan Lanin). Saya membayangkan bagaimana nalar saya bekerja ketika menjabarkan sesuatu. Saya langsung terpikir dua kata kunci: komponen dan proses. Saya melupakan satu kata kunci ketika itu: definisi.

Suatu hal kompleks biasanya saya uraikan berdasarkan definisi, komponen, dan proses. Definisi dibagi menjadi penggolong (kelompok besar) dan pengkhusus (apa yang berbeda). Berikutnya, komponen menjelaskan penyusun hal itu yang entah mengapa acap berjumlah tiga dan masing-masing bisa diuraikan lagi. Terakhir, proses mencuraikan pembentukan atau perubahan hal itu. Definisi, komponen, dan proses secara naluriah saya gunakan untuk menjelaskan hal kompleks secara (lebih) sederhana.

Contohnya ketika menjelaskan paragraf. Paragraf adalah bagian wacana (penggolong) yang mengungkapkan satu pikiran yang lengkap (pengkhusus). Untuk bisa menjelaskan paragraf, kita perlu memahami tiga komponen: jenis, pengembangan, dan keutuhan paragraf. Tiap komponen itu bisa diuraikan lagi, misalnya jenis paragraf dapat dibagi berdasarkan urutan, pernalaran, ekspresi, dan format. Proses pembuatan paragraf diawali dengan satu kalimat pokok yang selanjutnya dijabarkan oleh beberapa kalimat penjelas dan akhirnya diuji dengan kriteria keutuhan paragraf: kesatuan, kepaduan, kelengkapan, keruntutan, dan konsistensi.

Bahasa Gender Nirgender | Ivan Lanin

Menurut Ivan Lanin, meski tidak banyak, bahasa Indonesia memiliki kata dan akhiran yang bertanda gender, misalnya karyawan-karyawati, seniman-seniwati, putra-putri, dan muslimin-muslimat. Penanda gender itu tampaknya kita warisi dari bahasa Sanskerta (-wan, -wati, -a, -i) dan bahasa Arab (-man, -in, -at). Kata maskulin (-wan, -man, -a, dan -in) bisa dipakai untuk laki-laki dan perempuan (nirgender), sedangkan kata feminin (-wati, -i, dan -at) hanya dipakai untuk perempuan (bergender).

Penanda gender (bergender marker) dimiliki beberapa rumpun bahasa, seperti Indo-Eropa (misalnya bahasa Jerman), Afro-Asia (misalnya bahasa Arab), dan Dravida (misalnya bahasa Tamil). Namun, bahasa Indonesia termasuk rumpun bahasa Austronesia, yang pada umumnya terdiri atas bahasa-bahasa nirgender (genderless). Oleh sebab itu, saya lebih memilih untuk menggunakan kata bahasa Indonesia yang nirgender daripada yang bergender.

Jumlah Kata dalam Satu Paragraf

Berapa banyak kalimat dalam satu paragraf? Tidak ada ketentuan khusus dalam hal ini. Akan tetapi, dalam penulisan karya ilmiah, biasanya disarankan tiga sampai lima kalimat, atau minimal tiga baris. Apakah ketentuan tersebut sudah paten?

Dalam KBBI, paragraf adalah bagian bab dalam suatu karangan (biasanya mengandung satu ide pokok dan penulisannya dimulai dengan garis baru). Hal ini mengisyaratkan bahwa paragraf paling tidak mengandung dua kalimat: satu kalimat pokok dan satu kalimat penjelas.

Akan tetapi, berbeda dengan penjelasan Windy Ariestanty yang disampaikan kepada Ivan Lanin. Menurutnya, paragraf bisa saja hanya terdiri atas satu kalimat. Uraian bausastra Merriam-Webster tentang paragraf tampaknya berpihak pada Windy, “a subdivision of a written composition that consists of one or more sentences, deals with one point or gives the words of one speaker, and begins on a new usually indented line.”

Satu paragraf terdiri atas minimum satu kalimat dan maksimum tidak terbatas. Penggunaan satu kalimat biasa digunakan dalam penulisan jurnalistik atau di media massa, baik cetak maupun online. Sementara untuk yang tidak terbatas cenderung ditemukan dalam penulisan karya ilmiah.

Inti pokoknya bukan pada teknis berapa banyak jumlah kalimat, melainkan apakah ide pokok dalam tersampaikan dalam satu kalimat? Jika tidak, maka perlu ditambahkan kalimat selanjutnya sebagai penjelas. Penambahan ini kalimat penjelas ini disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Akan tetapi, sebaiknya tidak terlalu panjang. Jika terlalu panjang akan cenderung membuat pembaca lelah dan bosan.

Aturan Pemakaian “Tanda Pisah” atau Strip | Ivan Lanin

Menurut Ivan Lanin, dalam ejaan bahasa Inggris ada dua tanda pisah atau strip, yaitu yang pendek (–) dan yang panjang (—). Yang pertama disebut “en dash”, sedangkan yang kedua disebut “em dash”. Tanda pisah atau strip pendek digunakan di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat untuk menunjukkan rentang, misalnya 1926–2016, 20 Maret–20 Juni 2020, atau Cicaheum–Ciroyom. Tanda pisah panjang digunakan untuk membatasi penyisipan penjelasan atau keterangan—seperti ini—dalam kalimat.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) Edisi Keempat (2016) hanya mencantumkan “tanda pisah” yang fungsinya mencakup fungsi tanda pisah pendek dan tanda pisah panjang seperti yang diuraikan di atas. Bentuk tanda yang digunakan PUEBI seperti tanda pisah panjang (—). Beberapa buku menggunakan istilah “sengkang” sebagai sinonim “tanda pisah”. Jadi, ada “sengkang pendek” dan “sengkang panjang”.