Enderiza kecil hidup dikalangan yang berbasis nilai-nilai islami dengan tatanan Hidup yang terpola dan tersistim. Lahir dari lingkungan pesantren karena kakek Kyai Busyairi adalah pendiri pondok pesantren saringan, tukang kayu banyuwangi. Enderiza tumbuh menjadi pribadi yang berpadu padan antara seni dan pesantren, karena abah dan ibunya seorang guru yang memiliki jiwa seni. Yaitu seni pidato, drama, dan teater.

Sejak TK Enderiza sudah tampak bakat seni yang mengalir didirinya, kesukaannya dibidang tari, walau tidak mudah mendapatkan restu eyang kakek karena pemahaman bidang seni dipersepsikan tidak sejalan dengan nilai-nilai yang bersifat rilegius walau akhirnya sang kakek akhirnya mengijinkan tanpa terwakili lewat kata-kata.

Tidak hanya seni tari yang menguat didiri Enderiza, tapi abahnya yang seorang guru agama ternyata memberikan ruang bagi Enderiza untuk ikut bermain drama disalah satu sekolah SMP tempat abahnya mengajar.

Uniknya karena Enderiza kecil masih belum bisa membaca, maka media menghafal dialog ternyata menggunakan suara rekaman di kaset. Setiap dialog-dialog direkam, lewat pendengaran dan ketajaman Ederiza maka dialog-dialog itu merasuk kuat di ingatan bawah sadar yang memiliki potensi 88% kata para ahli. Masa kecil Enderiza yang diwarai dinamika hidup menjadikan empiris atau pengalaman memorinya bisa mewarnai selera seni yang dimiliki.

Menginjak sekolah SD Enderiza memang tidak berprestasi dimata pelajaran tapi kuat menonjol dibidang seni dan pengalaman kecilnya merambah di dunia seni yang bermain seni lawak atau komedi. Beberapa kali guru olah raganya memotivasi dan membina kelompok lawaknya sehingga memberi ruang tampil untuk membuat suasana segar dalam acara setiap acara di sekolah.

“Buatku kegagalan yang sangat menyakitkan adalah ternyata ketika kelompok lawakku tampil setengah jam, satupun tak penonton yang ketawa. Aku sebenarnya berharap satu atau dua penonton bisa ketawa walaupun tawa tersebut adalah tawa  basa basi. Mungkin itulah resiko sehingga tampilan lawak kami serasa basi. Tapi pengalaman mengajarkan agar aku dan kawan- kawan tampil percaya diri dan tanggung jawab atas segala kegagalan adalah sukses yang belum terjadi dan akan terjadi. Pada saat lulus dan masuk di SMP, bakat lawak kelompokku tetap tersalur dan makin berkembang.”

Hingga akhirnya kami juara satu lomba lawak di SMP tersebut.

Setelah peristiwa kompetisi lawak serasa tidak ada yang menarik dalam dinamika hidupku.

Hingga aku putuskan setelah lulus SMP, abah dan Ibu merestui aku untuk hijrah di kota Jember dan memasuki babak baru, selamat datang siswa siswi di Madrasah Aliyah Negri Jember. Di MAN ini lagi-lagi prestasi sekolahku tak kunjung bagus kemungkinan otak kananku terlalu dominan yang mengolah jiwa seniku. Namun aku tak boleh mengkambing hitamkan otak kiriku yang buruk dibidang matematika dan pelajaran lain. Hanya pelajaran menggambar saja yang nilaiku paling unggul itupun selalu menggambar gunung jika mendapat tugas menggambar pemandangan lagi-lagi ini soal mindset, siapapun orangnya disuruh menggambar pemandangan rasanya tidak mantap kalau tidak ada gunung.. hahahaha..

Sekali lagi karena otak kananku terlalu dominan maka ada satu lagi dibidang seni yang membuat musikkalitas ku menjadi sangat sebuah kelompok band alat music yang kupegang adalah keyboard .Kelompok bandku selalu mendapatkan kesempatan pentas dari desa ke desa, dari acara satu keacara lain.

Itupun tema lagu selalu bertema egois. Acara islami atau acara keagamaan tetap kita hibur audience dengan lagu-lagu cadas godbles dan lagu rock lainnya , ternyata jamaah pun kepalanya bergerak mengikuti kerasnya music cadas. Faham gak faham penonton, yang penting lehernya menari ala jaelangkung.

Disinilah Enderiza kecil mendapat ceko’an hidup sehingga makin mendapat sinyal nalurinya untuk mencari kampus yang bisa menyalurkan bakat seninya setelah lulus SMU atau MAN.

Dengan tatapan kosong, berwajah lugu rambut ndeso dengan wajah berbinar-binar mengucapkan kata di dalam hatinya..Selamat datang Yogyakarta…!!!

Dengan dibarengi semangat bertanya kesana kesini akhirnya Enderiza tertambat hatinya di sebuah kampus yang bernama ASDRAFI(Akademi Seni Drama dan Film Indonesia). Dimanakah kampus Asdrafi? Tanyaku kepada seseorang yang duduk di lantai, seseorang tersebut menjawab dengan tawa: hahaha ya dilantai yang kau injak ini!! hahaha. Pucat pasi Enderiza sambil ngeloyor mengucapkan maturnuwun. Kumantapkan hatiku untuk mendaftar sebagai mahasiswa di ASDRAFI. Kulonuwun…. monggo kata seseorang yang menggunakan kacamata tebal yang akhirnya kuketahui beliau bernama Romo Ebnu Chaeri.

ASDRAFI: Akademi seni drama dan film Indonesia nama sangat megah dan spektakuler  namun tidak dibarengi wujud fisik yang ternyata hanya sebuah gedung pendopo yang disekat-sekat menjadi kelas belajar. Oh my god. Bangga aku menjadi Mahasiswa Asdrafi… walau kebanggaan ini tidak serta merta dibarengi dengan menceritakan fisik yang sesungguhnya kepada orang tuaku. Karena beberapa kali orang tuaku hanya aku tunjukkan Kampus Asdrafi sebatas melihat pintu gerbangnya saja tanpa mampu untuk bisa melihat pendopo dan kelas-kelasnya. Apakah ini yang disebut bangga tapi malu… ah wallahualam….

 

Ospek Semi Militer

Aku jalani ospek yang menurutku gila total karena konsep ospeknya cukup ekstrem dengan selalu menciptakan tekanan, presier dan bentakan-bantahan walau kadang kakak panitia dalam mengekspresikan bentakannya bukan karena wibawa yg dimiliki tapi hanya sekedar bentakan warisan dari kakak-kakak seniornya alias para pendahulu. Yang selalu menciptakan hukuman-hukuman yang tidak nalar dan sulit diterima akal sehat. Namun ya itulah. Tak ada pilihan lain kecuali wajib menjalani tanpa boleh mengeluh apalagi melawan. Sedikit melawan bom ledakan amarah bisa-bisa aku terima dari kakak panitia.Dendamku makin kesumat kepada panitia tapi hilang dalam sekejap dendam itu ketika aku menerima pelukan maaf dari kakak-kakak panita sebagai berakhirnya acara ospek hikmah dari itu semua atau  tempaan itu mengajarkan nilai hidup tentang kesabaran,ketabahan,kekuatan dan iklas dalam setiap ujian.Luar biasa pelajaran pertama yang aku terima di kampus  unik dan bersejarah ini.

Akhirnya kujalani hari-hariku sebagai mahasiswa Asdrafi dengan mengikuti alur kehidupan yang mengalir begitu halus yang setiap saat memprovokasi mind setku sehingga yang tadinya aku sangat bercita-cita ingin menjadi pemain film atau sinetron perlahan kupupus dan kuredam sendiri. Karena kapasitas dan tampangku kurang mendapatkan modal yang kurang edeal. Kalau ingin menjadi pemain film tampangnya harus ganteng ganteng sekalian.Kalau jelek jelek sekalian padahal tampangku pas-pasan.Semester demi semester kulalui walau pembayarannya bisa dicicil, kayak kredit panci aja dan aku pernah melalui sebuah proses yang ekstrim dan mengasikkan dengan mengambil keputusan mengontrak sebuah rumah dipantai parangkusumo. hari-hari parangkusumo adalah hari tempaan untuk membangun skill dan mentalku. Teriakan AIUEO adalah teriakan wajib yang bertujuan menantang dan melawan arus angin dan deburan suara ombak untuk memperkuat dan mengolah jiwa dan ragaku. Banyak value hidup yang bisa kupetik dari alam pantai kawah candra dimuka ini, dan aku sering menyebut ini adalah ruang belajar selain dikampus Asdrafi aku selalu menyebutnya sebagai universitas luar biasa yaitu universitas alam semesta fakultas kehidupan jurusan kejadian.

Rektor dan sekaligus pemiliknya adalah Allah sang pencipta alam raya. Inilah sekelumit perjalanan tanpa bermaksud membiografikan diri sendiri. Tapi buatku ini adalah perjalanan awal yang sangat penting untuk menentukan arahku mau kemana?. Hingga akhirnya aku mantap memutuskan fikiran, kreatifitas dan tubuhku untuk seni bahasa tubuh,gerak,imajinasi yang bernama seni PANTOMIM.

Aku begitu sangat terpikat dengan pantomim selain skill itu bagian dari mata kuliah. Yang memotivasi dan membimbingku adalah seorang dosen Asdrafi yang bernama Pak Dedi Ratmoyo beliau banyak mempengaruhi mind setku secara positif dalam mengsikapi hidup dan kesenimanan yang akan aku jalani. Dengan perpaduan seorang kakak, senior dari dosenku mas masrumbara juga beliau seorang maha guru yaitu papi moortri purnomo lengkap rasanya pantomimer yang kusandang memiliki bobot keaktoran mime. Aku bersyukur berproses di yogyakarta yang kata orang bisa diperhitungkan dikancah ngayogyakarta yang notabene sebagai markas besar kesenian terbesar yang mencetak generasi- generasi seniman-seniman hebat.

Seiring terpaan value kehidupan mungkin merasuk cukup kuat dalam hidupku. Yang membongkar bawah sadarku yang buruk. Mampu meluluhkan pemikiran pemikiran yang posif dalam membangun attitude dan character building secara lebih universal.

Ego, sombong, munafik,tak peka lingkungan menggampangkan masalah meremehkan orang lain dan buruh-buruh yang sejenisnya. Dihancur leburkan oleh pembelajaran yang luar biasa lewat Universitas Alam Semesta fakultas kehidupan jurusan kejadian. Sehingga melakukan pribadi yang positip karena bagaimanapun hebatnya seorang seniman tetap harus berperilaku yang wajar selayaknya masyarakat umum yang hidup dalam harmonisasi kehidupan. Tak pernah menyesal aku terjerembab masuk dalam kehidupan seni. Karena disinilah rumahku sebagai ruang ekspresi, jati diri dan eksistensi. Merasa sudah cukup aku mendapatkan ilmu di  Asdrafi. Sehingga aku putuskan hijrah ke Jakarta beberapa kali walau akhirnya menyerah oleh keadaan dan pulang ke Jogja dengan sedih…tapi cepat move on ketika Asdrafi lewat Mas Dedy mempercayakan mengajar pantomime dari sini makin mantap langkahku pantomime sebagai pilihanku. Dengan torehan-torehan karya selalu kutampilkan di ruang seni taman budaya atau kantong-kantong seni. Dan keberadaanku sebagai pantomime makin kuat. Kujalani hari-hari sebagai dosen sangat menyenangkan dan makin member motivasi hidup buatku. Artinya prinsip belajar tanpa henti selalu ku praktikkan dalam proses hidupku. Sehingga aku tertantang untuk mengolah ide mengembangkan kurikulum yang sudah ada. Sehingga mengolah skill pantomime dan mentrasfer ilmu-ilmu pantomime ke mahasiswa itu menjadi lebih terarah dan teratur. Hari-hari mengajar adalah hari-hari yang menyenangkan serasa makin PD karena pengakuan sebagai Dosen mempengaruhi psikologis mentalku.

Dengan pakaian 1 stel yang kupunyai, baju hem yang kumasukkan nggak rapi. Dan hanya untuk mendukung supaya penampilanku standard layaknya pengajar,rambut panjangku yang biasanya ku biarkan kali ini kuikat rapi seklimis-klimisnya. Dengan suara berat ku yang bermaksud menciptakan kewibawaan…. Namun semua itu sia-sia, aku adalah aku, Riza adalah Riza standarisasi yang kukatakan tadi hanya manipulasi dan kamueflase saja, karena apapun yang kukemas secara teknis tapi tidak mampu mendongkrak kendesoanku dan penampilan luguku. Tapi aku optimis…mahasiswaku tak akan memperdulikan aku atas penampilan yang kumiliki. Sehingga aku berberdamai pada diriku sendiri dan tak perlu menyesal….dan segala pilihan penampilan yang ku ambil membawa konsekwensi logis…menyebabkan sulitnya saya untuk akuuntuk  mencari jodoh, karena keanehan penampilan yang kumiliki…tapi aku bersyukur ternyata .Tuhan masih mengirimkanku sesosok wanita yang buru masuk kampus Asdrafi sebagai mahasiswa baruku.Tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkannya karena wanita ini sangat memahami kedesoanku dan keputuskan secara mantap untuk menikahinya wanita yang sedang menjadi istriku. Dia adalah Elly Ernawatie nama populernya adalah Nina Artha dan akhirnya kami bahagia Tuhan memberi karunia berupa karya yang lahir dari .perkawinan kami yaitu  satu anak yang kuberi nama Faiza Fitria.